SEJARAH DESA
Sejarah Desa Kedewatan.
Mitologi, Legenda dan Sejarah Desa Kedewatan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan Dharmayatra dan Tirtayatra Maha Rsi Markandhya, sekitar pertengahan Abad ke 8, dari Desa Damalung di kaki Gunung Adi Hyang (Pegunungan Dieng) yang berlokasi dekat Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah menuju Gunung Raung (Propinsi Jawa Timur) dan disana melakukan tapa semadhi. Pada saat melakukan tapa semadhi beliau mendapatkan pawisik agar melanjutkan perjalanan dharmayatra dan tirtayatra ke arah Timur, menuju Gunung Agung di Bali Dwipa. Kemudian Rsi Markandhya mengikuti pawisik tersebut dengan berangkat menuju Gunung Agung dengan diiringi oleh 800 wong Aga , yang berasal dari Desa Aga di kaki Gunung Raung, menyeberangi lautan dan berlabuh di Segara Rupek, Gilimanuk.
Setelah tiba di kawasan hutan belantara di kaki Gunung Agung, pengikut Rsi Markandhya melakukan perabasan hutan. Setelah beberapa hari melakukan perabasan hutan, terjadi hujan lebat yang diiringi dengan angin kencang, guntur dan petir secara terus menerus selama 7 bulan. Saat terjadinya fenomena alam itu, juga diikuti oleh wabah yang banyak menelan korban jiwa diantara Wong Aga, pengikut Rsi Markandhya tersebut. Dari jumlah 800 orang pengikut pada saat pertama kali berangkat dari Desa Aga, setelah terjadi korban-korban meninggal diperjalan dan terakhir karena wabah, akhirnya masih tersisa sebanyak lebih kurang 200 orang pengikut. Menghadapi situasi dan kondisi yang demikian itu, akhirnya Rsi Markandya melakukan introspeksi dan melaksanakan brata semadhi. Melalui kekuatan batinnya, akhirnya disadari bahwa saat mulai merabas hutan, belum dilaksanakan “Upacara Matur Piuning” kehadapan Ida Bhatara To Langkir (Toh Langkir), yang berstana di agraning (puncak) Gunung Agung.
Setelah memperoleh penerangan batin, dan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi maka disadari bahwa tidak mungkin dapat meneruskan misinya dengan sisa 200 orang pengiring. Akhirnya Rsi Markandhya kembali lagi untuk mencari pengiring ke Desa Aga dan desa-desa sekitarnya dikaki Gunung Raung dan berhasil mengumpulkan pengiring sebanyak 400 orang dan kembali melaksanakan misi spiritual menuju kaki Gunung Agung.
Setelah tiba kembali di kawasan hutan kaki Gunung Agung, maka pertama-tama yang dilakukan oleh Maha Rsi adalah melaksanakan Upacara Matur Piuning dengan didasari oleh “subhadiwasa” atau pemilihan hari baik, dan dirangkaikan dengan upacara-upacara (wali) seperti persembahan caru (korban suci), upacara pemarisudha roh-roh para pengikut yang meninggal, upacara pemujaan tawur dan pemendeman pancadatu dilokasi yang disebut “Basukihan”, yang menjadi lokasi Pura Besakih sekarang. Kata Basuki sendiri, yang berasal dari bahasa Jawa Kuno, berarti selamat. Karena ditempat itu memohon keselamatan, dan memang terbukti memperoleh keselamatan dan kerahayuan. Sejak saat itu diyakini bahwa keselamatan dan keseimbangan alam lingkungan dan penghuninya didasari oleh pelaksanaan “wali” atau yadnya.
Setelah melakukan tapa – brata – yoga – semadhi dan tinggal beberapa lama di Basukihan (Besakih sekarang), Rsi Markandya bersama pengiringnya melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju kearah “Neriti” (Barat Daya) sambil melakukan perabasan hutan. Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, akhirnya tiba disuatu kawasan yang ada sosok bukitnya melintang dari arah Selatan ke Utara. Di sebelah Barat dan Timur sosok bukit itu mengalir dua aliran sungai yaitu “Tukad Yeh Wos Kiwa” (Barat) dan “Tukad Yeh Wos Tengen” (Timur) yang bertemu dan menyatu disebelah Selatan Gunung (Bukit) Lebah dan kemudian disebut Campuhan. Oleh Rsi Markandhya bersama para pengiringnya, ditempat itu dibangun sepelebahan parahyangan yang disebut dengan “Pura Gunung Lebah”
Dari Pura Gunung Lebah, rombongan terus menyisir ke Utara dan Barat Laut dan menemukan tempat yang utama (dahat apingit) di tengah hutan yang teduh dan memberikan ketenangan pikiran, lalu dibuatlah tempat untuk “Peyogan”, untuk melaksanakan tapa – yoga - semedhi, dan sekarang dikenal dengan Pura Pucak Payogan, sedangkan kawasan sekitarnya diberi nama “Luhungsiakan” (sekarang Lungsiakan) yang artinya tempat utama yang memberikan ketenangan pikiran, dan sekarang merupakan salah satu Banjar dan Desa Pakraman di wilayah Desa Kedewatan. Demikian juga disekitar Pura Pucak Payogan tersebut berdiri pemukiman baru yang dinamakan Banjar dan sekaligus Desa Pakraman Payogan yang merupakan wilayah Desa Kedewatan juga.
Dari tempat “pe-yoga-an” tersebut, rombongan melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju ke Utara dan menemukan tempat yang dinamakan “Sarwada” (Desa Taro sekarang), laluDari tempat “pe-yoga-an” tersebut, rombongan melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju ke Utara dan menemukan tempat yang dinamakan “Sarwada” (Desa Taro sekarang), lalu mendirikan tempat pemujaan. Dari Sarwada rombongan menuju ke Barat Daya dan tiba disuatu tempat, yang memiliki getaran dan kekuatan spiritual, lalu hutan dirabas dan dibangun pasraman yang disebut “Pasraman Amurwa” serta dibangun juga parahyangan, yang kemudian dikenal sebagai Pura Dalem Murwa.mendirikan tempat pemujaan. Dari Sarwada rombongan menuju ke Barat Daya dan tiba disuatu tempat, yang memiliki getaran dan kekuatan spiritual, lalu hutan dirabas dan dibangun pasraman yang disebut “Pasraman Amurwa” serta dibangun juga parahyangan, yang kemudian dikenal sebagai Pura Dalem Murwa.
Selain itu, dibangun juga parahyangan yang bentuknya panjang kemudian ditetapkan sebagai Pura Desa dan Bale Agung. Karena ditempat ini dibangun beberapa parahyangan (para “Hyang” berstana) sehingga tempat ini dinamakan Parahyangan (Payangan).
Dari Parahyangan (Payangan) Maha Rsi kembali lagi meneruskan misi spiritualnya menuju ke Selatan dekat sekali dengan tempat “pe-yoga-an” (Pucak Payogan) yang beliau buat sebelumnya, suatu tempat yang indah memancarkan sinar bagai tempat para dewata berstana, yang disebutnya sebagai “Ke-dewata-an”, dan lama kelamaan disebut “Kedewatan”. Tempat pemujaan yang dibangun dinamakan Pura Pucak Ke-dewata-an dan sekarang dinamakan Pucak Swargan, dan disebelahnya masyarakat membangun Pura Dalem yang dinamakan Pura Dalem Swargan.
Demikianlah sepintas sejarah Desa Kedewatan yang dirangkum dari beberapa tulisan, dan dasar penulisan tersebut bersumber dari “Riptaprasasti”, Lontar Bhwanatatwa Maharsi Markandhya dan Lontar Markandhya Purana.
PURA PUCAK PAYOGAN – Rombongan Rsi Markandhya terus menyisir ke Utara dan Barat Laut dan menemukan tempat yang utama (dahat apingit) di tengah hutan yang teduh dan memberikan ketenangan pikiran, lalu dibuatlah tempat untuk “Peyogan”, untuk melaksanakan tapa – yoga - semedhi, dan sekarang dikenal dengan Pura Pucak Payogan di Desa Pakraman Lungsiakan
Bagikan artikel ini:Kirim Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui Admin